Rabu, 01 Juni 2016

Asal Usul Mesin Jahit dan Cara Kerjanya


Mesin jahit adalah peralatan mekanis atau elektromekanis yang berfungsi untuk menjahit. Sejarah jahit-menjahit dengan menggunakan jarum sudah dimulai pada awal-awal peradaban manusia. Bahan jarumnya bermacam-macam. Ada yang terbuat dari batu, tembaga, tulang ataupun gading. Jarum yang masih kasar itu digunakan untuk menyatukan kulit hewan menjadi pakaian. Sementara benangnya yang digunakan dibuat dari otot hewan. Jarum logam digunakan sekitar abad ke-14, yang merupakan jarum dengan menggunakan lubang yang umum dijumpai pada saat ini.

Awal penemuan mesin Jahit

Pada tahun 1755, seorang imigran Jerman, Charles Weisenthal, yang tiggal di Inggris, mematenkan penemuan jarumnya yang khusus dirancangnya untuk sebuah mesin. Sayangnya patennya tidak merinci mesin yang menggunakan jarum tersebut. Berikutnya, seorang pembuat lemari asal Inggris, Thomas Saint yang juga mematenkan mesin jahit di tahun 1790. Tidak diketahui apa Saint benar-benar membuat prototipe mesin yang digunakan pada saat itu, atau hanya sekedar mematenkan agar mendapatkan royalti, kelak jika mesin itu bisa dibuat. Yang pasti, Thomas Saint merinci dalam patennya sebuah benda tajam yang dapat membuat lubang pada kulit dan memasukkan jarum pada lubang yang ada. Selangkah lebih maju dari Weisenthal. Namun reproduksi temuan Saint itu ternyata tidak bisa beroperasi.

Perkara Paten ini juga dilupakan oleh Balthasar Krems. Warga berkebangsaan Jerman ini menemukan mesin otomatis untuk menjahit topi di tahun 1810. Dia tidak mematenkan temuanya dan konon mesinnya tiadak pernah berfungsi dengan baik. Upaya untuk membuat mesin jahit memang tidak pernah pudar. Banyak pula yang akhirnya menyebabkan perang paten. Namun tidak sedikit pula yang berakhir dengan kegagalan. Contohnya John Adams Doge dan John Knowles dari Amerika. Mereka berdua membuat mesin jahit pada tahun 1818 namun ujung-ujungnya mesin itu gagal saat digunakan untuk menjahit sejumlah kain. Mesin Jahit yang bisa berfungsi diciptakan oleh Barthelemy Thimonier pada tahun 1830. Mesin ini hanya menggunakan satu benang dan sebuah jarum kait seperti jarum bordir atau sulam. Sayangnya, temeuan ini tidak memperoleh sambutan baik dari masyarakat. Bahkan dirinya hampir terbunuh ketika sejumlah penjahit membakar pabrik garmen miliknya karena takut tersaingi dan menimbulkan pengangguran akibat temuan mesin jahitnya. Kembali seorang Amerika mencoba membuat mesin jahit dan sukses ditahun 1834, yang bernama Walter Hunt. Namun anehnya, dia tidak merasa bahagia dengan temuannya, karena dia merasa temuannya akan menimbulkan pengangguran.

Puncak penemuan mesin jahit terjadi di Amerika Serikat yang ditemukan oleh Elias Howe. Mesin buatannya menggunakan dua benang dari arah berlawanan dan memiliki jarum berlubang untuk benang di bagian ujung. Jarum itu didesak menembus kain dan membuat semacam lengkungan benang di sisi bawah kain. Sebuah benang dari arah lain disisipkan ke dalam lengkungan tadi. Lalu kedua benang membuat jalinan yang mengunci kain. Kabarnya temuan ini inspirasi dari mimpinya. Dalam mimpinya, perut Howe ditusuk oleh seorang kanibal dengan tombak dalam tidurnya. Bentuk ujung tombak inilah yang dijadikan inspirasi buat menciptakan jarum yang sudah lama dicarinya.

Namun setelah penemuannya, Howe dihadapkan pada masalah dengan mempertahankan paten dan memasarkan temuannya. Akhirnya dia berjuang selama sembilan tahun. Perang paten sendiri pecah ketika Isaac Singer menemukan mekanisme naik turun pada mesin jahit dan Allen Wilson mengembangkan alat kait pemintal berputar. Mesin jahit belum menjadi barang produksi massal hingga tahun 1850-an. Setelah Isaac Singer berhasil membuat mesin jahit dengan jarum jahit yang bisa digerakkan kayuhan pedal kaki, maka kesuksesan penjualan mesin jahit secara komersial terbuka. Sebelumnya, mesin jahit terdahulu menggerakkan jarumnya dari pinggir dan digerakkan dengan tangan. Bagaimanapun, mesin Isaac Singer menerapkan mekanisme jalinan dua benang yang dipatenkan Howe. Maka Elias Howe menuntut Isaac Singer atas paten yang serupa dan berhasil memenangkan perkaranya pada tahun 1854. Sebenarnya Walter Hunt menerapkan jalinan benang dari dua sumber benang dan jarum berlubang. Namun pengadilan memutuskan paten jatuh ketangan Howe setelah Hunt membatalkan patennya. Jika Hunt tetap mematenkan temuannya, Elias Howe dapat dikalahkan dalam perkaranya dengan Isaac Singer. Maka atas kekalahan itu, Isaac Singer harus membayar royalti paten Elias Howe. Jika saja paten yang dimiliki warga Inggris, John Fisher ditahun 1844 itu tidak hilang, maka Fischer akan terlibat dalam perang paten mesin jahit. Pasalnya mesin renda buatannya menerapkan mekanisme yang serupa dengan mesin Howe maupun Singer. Keberhasilan dalam mempertahankan hak atas patennya membuat keuntungan Elias Howe melonjak tajam. Pendapatan tahunannya yang semula 300 dolar Amerika menjadi lebih dari 200.000 dolar AS per tahun untuk saat itu. Dalam kurun waktu 14 tahun (1854-1867), Howe mengumpulkan dana hingga 2 juta dolar AS atas temuannya. Ia lantas menyisihkan sebagian kekayaannya selama Perang Saudara Amerika bagi Pasukan Infantri dan sebagian lagi sumbangan atas nama pribadinya.

Cara Kerja Mesin Jahit

Pergerakan mesin jahit atau cara kerja mesin jahit dapat dipelajari dengan mempelajari ilmu Kinematika.
Ilmu Kinematika merupakan landasan ilmu dari prinsip atau cara kerja mesin jahit.
Ilmu Kinematika adalah ilmu yang mempelajari tentang gerak benda tanpa memperhitungkan penyebab gerak atau perubahan gerak.

Mesin jahit elektrik portable digerakkan oleh motor listrik yang dikendalikan dengan foot controller.
Motor listrik yang biasa digunakan pada mesin jahit ini adalah motor listrik asinkron.
Motor listrik ada 2 macam :
1. motor listrik sinkron
2. motor listrik asinkron

Kenapa motor listrik asinkron?
Karena kecepatan motor ini dapat diatur dengan mengubah nilai resistansi pada foot controller, yang mengakibatkan nilai tegangan atau arus pada motor berubah.
Motor listrik ini dihubungkan ke handwheel mesin jahit melalui drive belt.
Ketika kita menginjak foot controller, motor bergerak berputar memutar hand wheel.
Perputaran hand wheel ini mengakibatkan :
1. needle bar, yang membawa jarum, turun naik.
2. hook bergerak berputar.
3. feed dog bergerak mundur di atas (terlihat di luar needle plate) dan bergerak maju di bawah (tidak terlihat di dalam needle plate).
Jarum membawa benang atas, hook mengambil benang atas yang dibawa oleh jarum untuk dipertemukan atau dikaitkan dengan benang bawah, sedangkan feed dog menggerakkan kain.
Pertemuan jarum dengan hook ini di bawah kain membentuk jahitan.

Pertemuan jarum dengan hook secara tepat disebut Timing (baca: taiming - istilah dalam mesin jahit).
 
 
Bagian - Bagian Mesin Jahit
 
 









Apakah alat Mesin Jahit untuk di masa akan datang masih tetap exist dan di gunakan ?

Menurut saya sih mesin jahit masih akan tetap ada dan masih di gunakan oleh kalangan masyarakat di masa akan datang, mungkin hanya versinya saja yang berubah. Untuk sekarang yang paling canggih adalah mesin jahit otomatis dan listrik, namun untuk fungsinya tetap sama. Di bidang perindustrian pakaian mesin jahit ini sangat di butuhkan.




Rabu, 06 April 2016

Tak Diakui di Indonesia, Alat Pembasmi Kanker Ciptaan Warsito Populer di Jepang



Berbekal ilmu yang didapat ketika menempuh pendidikan S1, dan S2 jurusan Teknik Kimia, serta S3 Teknik Elektro di Jepang, ditambah pengalaman riset di Amerika Serikat, Warsito P. Taruno menciptakan alat menyembuhkan kanker payudara stadium 4 yang diderita sang kakak.

Berprofesi sebagai peneliti teknologi berbasis energi rendah selama di Jepang, dan Amerika Serikat, tak pernah tebersit sedikitpun akan “mengawinkan” teknologi ini dengan teknologi terapi kanker yang dia dapatkan ketika mengabdi sebagai dosen Fisika Medis di Universitas Indonesia.

“Semua berawal ketika kakak perempuan saya divonis kanker payudara stadium 4. Dokter telah angkat tangan, hanya ada dua pilihan yakni mencari pengobatan alternatif atau menunggu kematian,” ujarnya di laboratorium riset kanker C-Tech Labs Edwar Technology, Tangerang.
Dalam keadaan galau, muncul ide Warsito untuk memadukan teknologi energi rendah dengan teknologi terapi kanker, guna menyembuhkan penyakit sang kakak. Akhirnya, uji lab in vitro yang dilakukan membuahkan hasil yang mengejutkan.
Seluruh kombinasi teknologi sesuai dengan yang diharapkan. Kemudian, masuk pada tahap uji coba pada penderita. Dengan perhitungan yang matang, uji coba teknologi ini membuahkan hasil sangat bagus, yakni uji klinis menyatakan tubuh sang kakak bersih dari kanker.
Kini, setelah lebih dari lima tahun menggunakan teknologi temuannya, sang kakak telah kembali hidup normal. Informasi berkembang dengan cepat, ribuan pasien tiap tahunnya datang meminta bantuan.

Gedung yang dahulu hanya berfungsi sebagai laboratorium pengembangan teknologi gelombang rendah yang memancar secara tiga dimensi, kini berkembang menjadi klinik riset kanker.
Tak kurang dari 10.000 orang telah menggunakan teknologi ciptaan Warsito dengan rincian 50% pasien mengidap penyakit kanker payudara, dan lainnya kanker otak.
Sebanyak 70% pasien divonis tak dapat ditolong secara medis, 25% tidak mau medis, dan 5% lainnya belum berobat secara medis.
Hasilnya, 80% pengguna teknologi temuannya dapat hidup secara normal bahkan dikatakan sembuh secara kedokteran.
Warsito kemudian berpikir teknologi yang selama ini dikembangkan menggunakan dana pribadi ini harus dapat bermanfaat untuk masyarakat luas, karena penyakit kanker masih menjadi pembunuh di dunia.
Berbagai cara telah ditempuh untuk mendapatkan izin produksi massal, izin edar, dan izin penggunaan alat kesehatan ini oleh lembaga kesehatan di Indonesia.
Di luar dugaan, hasilnya nol besar. Misi kemanusiaannya terhambat regulasi. Tidak ada regulasi jelas yang dapat mengakomodir alat kesehatan temuan dalam negeri untuk digunakan di Tanah Air tercinta ini. Regulasi yang selama ini ada cenderung hanya mengakomodir peredaran alat kesehatan dari luar negeri.

Warsito mengatakan selama ini produsen lokal hanya mampu berkontribusi sebanyak 5% terhadap peredaran alat kesehatan. Sisanya didatangkan dari luar negeri. Sungguh pasar paling prospektif untuk penjualan alat kesehatan.
Menurutnya Indonesia hingga kini belum memiliki skema atau kebijakan dalam pengembangan industri hulu alat kesehatan buatan peneliti dalam negeri. Bahkan, terkesan pemerintah tidak memercayai produk buatan anak bangsa yang telah diakui dunia internasional.
Alih-alih mendapatkan izin edar, produksi massal, dan penggunaan teknologi ini oleh praktisi kesehatan Indonesia, sejumlah cara yang telah ditempuh justru menimbulkan beban biaya besar.
Warsito menuturkan, jika pemerintah ingin menilai produknya secara ketentuan internasional, di mana regulasi terkait alat kesehatan memperhatikan penggunaan listrik berkekuatan 50 volt, alat temuannya ini jauh lebih efisien dan aman karena hanya menggunakan baterai rumah tangga bertegangan rendah.
Dia mengatakan jika dilihat berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang berlaku tentang alat kesehatan, produk yang diciptakannya seharusnya dengan mudah mendapatkan izin edar.
Pasalnya, secara umum terdapat tiga kategori alat kesehatan, pertama alat yang yang tidak menimbulkan efek apapun dapat beredar tanpa uji klinis. Kedua alat menimbulkan risiko ringan, sehingga izin bisa didapatkan cukup dengan penjelasan, dan ketiga adalah alat yang memiliki risiko berat sehingga perlu uji klinis.
Dalam hal ini, lanjutnya, energi yang digunakan setara dengan sandal refleksi yang beredar bebas di Indonesia. Bahkan, teknologi ini lebih aman ketimbang terapi kesehatan menggunakan ceragem atau terapi infra merah yang kini merebak di Indonesia.



Hambatan tidak hanya berhenti di situ, beredar kabar sejumlah praktisi kesehatan pernah melayangkan surat ke pemerintah untuk menutup aktivitas riset, dan pengobatan laboratorium miliknya.
“Yang jelas jika teknologi ini dapat terus dikembangkan, maka akan mengubah kebiasaan dunia kesehatan dalam menyembuhkan penyakit kanker,” tutur Warsito.
Tanpa pernah mendapat kepastian dari pemerintah, teknologi buatannya dengan cepat digunakan di Jepang. Secara regular Jepang memesan teknologi inti buatannya untuk kemudian dikemas dan dipasarkan ke negara lain.
Padahal, lanjutnya, Jepang telah memiliki teknologi kesehatan untuk menyembuhkan kanker dengan nilai mencapai Rp500 miliar. Namun, berdasarkan uji coba yang dilakukan, teknologi buatannya dinilai lebih efektif, dan cepat dalam penyembuhan.
Kini, teknologi buatannya di Jepang dihargai Rp200 juta, padahal di dalam negeri pasien cukup menebusnya dengan harga sekitar Rp10 juta.
Namun, karena belum memiliki kepastian izin edar, pasien kanker justru banyak yang berobat ke Jepang.

Sejumlah investor asing, menurutnya telah mengajukan tawaran kerja sama untuk memproduksi massal teknologi ini, namun pihaknya masih mencari investor yang memiliki kesamaan pandangan bahwa pemasaran teknologi harus diiringi dengan pengembangan aktivitas riset.
Sejumlah negara selain Jepang, seperti China, Malaysia, Singapura, India, Polandia, dan Srilanka telah mengirimkan ahli onkologi, sub-bidang medis yang mempelajari dan merawat kanker, untuk mengikuti pelatihan menggunakan teknologi buatannya di laboratorium miliknya.
Warsito mengatakan, hingga saat ini di negara manapun belum ada alat yang dapat menyembuhkan kanker yang telah menyebar ke seluruh tubuh dalam waktu enam bulan. Selain itu, belum pernah ada produk yang dapat menyembuhkan kanker otak ganas dalam waktu empat bulan, kecuali teknologi ciptaannya.
“Pada akhirnya kenapa kami buat bisnis ini di Indonesia, mungkin karena idealisme dan nasionalisme lebih besar ketimbang pemikiran profit,” kata Warsito.
Semoga teknologi hasil penelitian Warsito tak hanya menjadi dokumentasi atau setumpuk jurnal ilmiah seperti nasib hasil penelitian para ilmuan Indonesia selama ini.


Sikap Ilmiah dari Warsito Purwo Taruno :
1. Kreatif : berawal dari coba coba menemukan alat pembasmi kanker dengan berbekal ilmu pengetahuan sekolahnya di Jepang, beliau mampu mengembangkan alat teknologi ECVT untuk pembasmi kanker payudara dan menyembuhkan kakaknya.
2. Optimis : tetap percaya bahwa alat tersebut dapat berguna bagi masyarakat, dan yakin bahwa teknologi buatannya asli Indonesia ini lebih aman dari teknologi luar.
3. Pemberani : meskipun beliau dapat banyak kecaman dan kerap tidak mendapatkan izin di Indonesia dalam mengembangkan kliniknya beliau tetap mengembangkan dan memasarkan alat tersebut sampai di akui Internasional.

Selasa, 05 April 2016

 
Apakah ; "Tak ada tempat buat saya di Indonesia ??? "
Inilah curhatan dari seorang Ilmuwan abad ini, Asli Putra Bangsa Indonesia. Diakui oleh Dunia, namun dipinggirkan oleh pemilik kuasa dan kepentingan negeri ini. Seorang ilmuwan yang berhasil membuka jalan dalam bidang pengobatan penyakit kanker, yang di dunia kedokteran-pun hampir tak ada obatnya. Namun, dengan teknologi hasil temuan beliau yaitu ECVT dan ECCT, ada secercah harapan bagi mereka yang menderita penyakit kanker untuk bisa menemukan kembali alur indah kehidupan mereka.
Beliau adalah Dr. Warsito P. Taruno, Harapan Baru Indonesia....
Mari dukung Ilmuwan Asli Indonesia !!!
----------------------------------------------------------------------------------
#SaveIlmuwan #SaveWarsito #SaveECCT #SaveECVT #SupportRiset
----------------------------------------------------------------------------------
12 tahun yang lalu hari-hari ini, saya kehilangan data riset saya hasil kerja selama 15 tahun. Komputer laptop terakhir saya 'crash' setelah berhari-hari menjalankan program rekonstruksi data pemindaian. Sebelumnya 2 komputer lain yang menyimpan data backup hangus tersambar petir, 2 lagi juga 'crash' terlebih dahulu karena tak mampu menjalankan program.
Ketika baru memulai membina riset di Indonesia selama 6 bulan, langit bagaikan runtuh, seolah-olah mengatakan: "Tak ada tempat buat saya di Indonesia."
Tak ada 'shock' yang lebih berat dari itu yang pernah saya alami dalam hidup saya hingga membuat saya seminggu lebih tak mampu keluar rumah.
Tetapi hal itu tak merubah niat saya untuk mencoba membangun riset di Indonesia. Dari puing-puing akhirnya ECVT (Electrical Capacitance Volume Tomography) lahir, hari-hari ini 12 tahun yang lalu di sebuah ruko di Tangerang. Tahun berikutnya paten ECVT didaftarkan di PCT. 3 tahun kemudian 'granted'. Tahun 2006 ketika polemik sedang panas-panasnya tentang ECVT, NASA memakainya untuk pengembangan sistem pemindaian di pesawat ulang-alik. 2007 jurnal ECVT terbit di IEEE Sensors Journal, dengan alamat Fisika UI. 2008 Dept Energi Amerika memakainya sebagai model sistem pemindaian untuk pengembangan 'Next generation power plant' dan untuk verifikasi hasil simulasi supercompter skala penta-eksa.
Di Indonesia ECVT berkembang lebih banyak ke aplikasi di bidang medis, bekerja-sama dengan Fisika Medis UI, Biofisika ITB, Biologi IPB, Litbangkes, Metalurgi Untirta, Kedokteran Unair, Biomedik UIN, Biomedik ITS, Univ. Kyoto dan lain sebagainya. Di Indonesia lahirlah teknologi pertama di dunia: Breast ECVT untuk screening breast cancer secara 4D dan instant, serta Brain ECVT untuk pemindaian aktifitas otak secara 4D dan real time.
Salah satu turunan teknologi ECVT adalah aplikasi untuk terapi kanker, ECCT (Electro-Capacitive Cancer Therapy), didaftarkan paten Indonesia 2012. ECCT dan ECVT adalah setara dengan radioterapi untuk terapi dan CT scan untuk pemindai dengan sumber gelombang elektromagnet pengion. Bedanya ECVT dan ECCT memanfaatkan sifat dasar biofisika sel dan jaringan.
ECVT dan ECCT jelas memberikan harapan besar untuk terapi kanker berbasis gelombang energi non-radiasi. Dengan ECCT misalnya kasus yang sudah tidak ada jalan keluar sebelumnya seperti kanker di tengah batang otak atau kanker yang sudah menyebar ke seluruh tubuh masih mungkin dibersihkan (dibersihkan, tanpa tanda kutip) dengan ECCT.
ECVT dan ECCT bisa dikatakan tak ada referensinya di dunia luar, karena keduanya lahir di Indonesia, pertama di dunia.
Sesuatu yang baru sudah pasti akan mengundang kontroversi. Adanya kontroversi itu sendiri justru karena kita mencoba sesuatu yang baru. Tanpa mencoba sesuatu yang baru, tak ada yang akan mengubah nasib kita.
ECVT dan ECCT hanyalah teknologi yang dikembangkan berdasarkan prinsip fisika dan matematis. Kalau bukan saya yang membuatnya, akan ada orang lain yang membuatnya di tempat lain di waktu lain.
12 tahun kemudian sejak pertama kali ECVT ditemukan, hari ini di tempat yang sama saya mendapat surat dari sebuah lembaga agar saya menghentikan semua kegiatan pengembangan riset saya di Indonesia. Haruskah pertanyaan 12 tahun yang lalu perlu diulang: "Tak ada tempat buat saya di Indonesia?"
Warsito P. Taruno
Tangerang, 30 Nopember 2015